Jumat, 31 Juli 2009

.:Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?:.

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian
besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana
termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan
perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada
dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai
saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

..................................................................

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk
miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5
persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan
pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya
mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan
reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi
pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan
penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun
2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk
yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga
prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau
lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini
mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama
ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-
program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada
upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara
lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit
menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan
tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah
ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin.
Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan
ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi
dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung
digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan
sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya
pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan
kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada
tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya
berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk
program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro
hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data
mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan
nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada
keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data
dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat
keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar
yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi
ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang
berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak
realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan
pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah
kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten
Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang
miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara
BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada
tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga
prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang
sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah
dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk
target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi
bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya
(walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan
serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro
tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak
yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak
dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau
keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan
data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal,
bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha
mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap,
antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan
data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa
Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih
terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab
kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak
dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili
keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan
informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut,
terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat
dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan
diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek
yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat
diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian
tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun
di tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini
adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah
atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai
indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat
menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya
indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam
berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk
penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap
fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga,
unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan
kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau
pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan
serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh
karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti
perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya,
khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut
tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin
ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Belum memadai

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya
memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di
daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat
tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut
tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di
tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data
kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional,
perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah.
Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu
diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga
keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten
dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk
kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari
pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan
adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan,
pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam
pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan
sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan
dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi
statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang
diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain
itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau
internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke
masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan
keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna
atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya
kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi
untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan
keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar
dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan
informasi untuk kebijakan program.

Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik
pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi,
dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya
secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program
pembangunan yang sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang
menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu
pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan
sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim
teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait,
pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar
secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang
spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan
sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis,
dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya
dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas
dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan,
dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola
pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas
pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik,
Badan Pusat Statistik

.:MARKETING POLITIK:.

Marketing politik (political marketing) Adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih dengan tujuan membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan perilaku pemilih untuk secara umum mendukung, dan khususnya memilih partai kita (Nursal, 2004). Marketing politik yang dari istilahnya sendiri terasa sebagai contradictio in terminis (dalam istilahnya seperti ada yang kontradiktoris). Tapi sesungguhnya tidak demikianlah adanya. Strategi-strategi marketing memang sudah saatnya diterapkan dalam politik, mengingat banyak hal yang telah diuraikan sebelumnya.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunkasi, semakin terintegrasinya masyarakat global dan tekanan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, institusi politik pun membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan konstituen dan masyarakat luas. Dalam konteks inilah marketing sebagai suatu disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik ilmu marketing biasanya dikenal sebagai sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen. Hubungan dalam marketing tidak hanya terjadi satu arah, melainkan dua arah sekaligus dan simultan. Produsen perlu memperkenalkan dan membawa produk serta jasa yang dihasilkan kepada konsumen. Semua usaha marketing dimaksudkan untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang di-“jual” memang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan produk yang dijajakan pesaing. Metode dan pendekatan yang terdapat dalam ilmu marketing dapat membantu institusi politik untuk membawa produk politik kepada konstituen dan masyarakat secara luas. Institusi politik dapat menggunakan metode marketing dalam penyusunan produk politik, distribusi produk politik kepada publik dan meyakinkan bahwa produk politiknya lebih uuggul dibandingkan dengan pesaing.
Penggunaan metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik (political marketing). Dalam marketing politik, yang ditekankan adalah penggunaan pendekatan dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan ini diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa.
Ada 5 komponen yang biasa dilakukan oleh partai politik, yaitu (Baines et al, 1999):
 Mengkomunikasikan pesan dan gagasan
 Mengembangkan identitas jati diri, kredibilitas dan tranparansi
 Interaksi dan respons dengan komunitas internal dan eksternal dengan melakukan pencitraan partai
 Menyediakan pelatihan, mengolah dan menganalisis data untuk kepentingan kampanye
 Secara terus menerus mempengaruhi dan mendorong komunitas untuk mendukung partai

Dalam dunia bisnis jelas yang dipasarkan adalah produk-produk bisnis. Karena political marketing berasal dari product marketing, orang sering mengasumsikan yang harus dipasarkan adalah produk politik: kandidat politik, program politik atau kebijakan politik.
Marketing politik telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tetapi juga memunculkan beragam pertanyaan para marketer yang selama ini sudah terbiasa dalam konteks dunia usaha. Tentunya terdapat beberapa asumsi yang mesti dilihat untuk dapat memahami marketing politik, karena konteks dunia politik memang mengandung banyak perbedaan dengan dunia usaha. Menurut O'Shaughnessy (2001), politik berbeda dengan produk retail, sehingga akan berbeda pula muatan yang ada di antara keduanya. Politik terkait erat dengan pernyataan sebuah nilai (value). Jadi, isu politik bukan sekadar produk yang diperdagangkan, melainkan menyangkut pula keterikatan simbol dan nilai yang menghubungkan individu-individu. Dalam hal ini politik lebih dilihaf sebagai aktivitas sosial untuk menegaskan identitas masyarakat.
Menurut Lock dan Harris (1996) terdapat beberapa karakteristik mendasar yang membedakan marketing politik dengan marketing dalam dunia bisnis. Perbedaan ini berasal dari kenyataan bahwa kondisi pemilihan umum memang berbeda dengan konteks dunia usaha pada umumnya. Perbedaan-perbedaan tersebut, menurut mereka, adalah:
1. Pada setiap pemilihan umum, semua pemilih memutuskan siapa yang mereka pilih pada hari yang sama. Hampir tidak ada perilaku pembelian produk dan jasa dalam dunia usaha seperti perilaku yang terjadi selama pemilihan umum.
2. Meskipun beberapa pihak berargumen tentang adanya biaya individu dalam jangka panjang atau penyesalan (dalam bahasa ekonomi) sebagai akibat keputusan yang diambil ketika melaksanakan pencoblosan dalam pemilu, pada Kenyataanya tidak ada harga langsung ataupun tidak langsung yang terkait dengan pencoblosan. Hal inilah yang paling membedakan konsep pembelian (purchase) dalam politik dibandingkan dengan pembelian yang terdapat dalam dunia bisnis.
3. Meskipun tidak ada harga spesifik yang terkait dengan pencoblosan yang dilakukan, pemilih harus hidup dengan pilihan kolektif, meskipun kandidat atau partai yang memenangkan pemilu bukan pilihan mereka. Hal ini membedakan pilihan publik dengan proses pembelian yang terjadi dalam pasar ekonomi. Dalam proses pembelian di pasar ekonomi, produk dan jasa yang dikonsumsi adalah yang mereka beli. Pembeli dapat menolak konsumsi atas barang-barang yang tidak disukai. Sedangkan dalam politik, ketika partai atau kandidat mereka kalah, pihak yang kalah ini harus hidup dan menelan kenyataan atas berkuasanya kandidat serta partai yang memenangkan pemilu.
4. Produk politik atau kandidat individu adalah produk tidak nyata (intangible) yang sangat kompleks, tidak mungkin dianalisis secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, kebanyakan pemilih menggunakan judgment terhadap keseluruhan konsep dan pesan yang diterima.
5. Meskipun terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengubah arah dan platform partai politik, kemungkinan untuk meluncurkan brand politik yang baru sangatlah sulit. Soalnya, brand dan image politik pada umumnya sudah melekat dengan keberadaan partai tersebut.
6. Pemenang pemilu akan mendominasi dan memonopoli proses pembuatan kebijakan publik. Pemenang pemilu akan mendapatkan hak dan legitimasi untuk melakukan semua hal yang mengatur keteraturan sosial dalam masyarakat.
7. Dalam banyak kasus marketing di dunia bisnis, brand yang memimpin pasar cenderung untuk tetap menjadi pemimpin dalam pasar. Sedangkan dalam politik, pihak yang berkuasa akan dapat dengan mudah jatuh menjadi partai yang tidak populer ketika mengeluarkan kebijakan publik yang tidak populer seperti menaikkan pajak dan menaikkan harga bahan bakar minyak. Reputasi politik dapat meroket dan dengan cepat jatuh tenggelam hingga ke dasar yang paling dalam.

Melihat perbedaan-perbedaan mendasar antara dunia politik dengan dunia usaha komersial, perlu ada penyesuaian-penyesuaian dalam penerapan marketing di dunia politik. Untuk itulah diperlukan suatu bahasan yang lebih mendalam tentang marketing politik. Sebagaimana lazimnya bahasan tentang suatu ilmu, kita harus lebih dulu menengok dasar-dasarnya. Hal ini dilakukan agar penerapan ilmu marketing sesuai dengan konteks dunia politik.
Marketing politik adalah suatu cabang atau ranting ilmu sosial interdisipliner. Paling tidak dua cabang ilmu sosial menyusun marketing politik, yaitu ilmu marketing dan ilmu politik. Seperti halnya dalam perpaduan atau percabangan ilmu sosial lainnya, tak pelak lagi marketing politik pun disertai polemik yang masih hangat hingga saat ini. Apalagi bila diingat betapa secara hakiki terdapat perbedaan antara marketing dan politik, terutama bila sudah berbicara tentang etika.
Kedua cabang ilmu tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Rasionalitas yang membangun kedua cabang ilmu tersebut juga sangat berbeda. Ilmu marketing beranjak dari kondisi persaingan (competition) dan banyak sekali digunakan untuk menjelaskan serta menggambarkan bagaimana suatu usaha (baik swasta maupun negeri) bisa memenangkan persaingan di pasar. Tujuan utama marketing adalah agar produk dan jasa relatif dapat Iebih unggul dan kompetitif dibandingkan dengan para pesaingnya. Dan tentunya juga agar konsumen dapat terkesan bahwa produk yang dihaslikan oleh suatu pcrusahaan lebih unggul dibandingkan dengan pesaing. Semua peralatan, metode dan teori yaug terdapat dlalam ilmu marketing diarahkan untuk mencapai tujuan ini.
Sementara ilmu politik adalah ilmu yang bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat melalui sistematisasi perebutan kekuasaan. Secara hakiki, politik berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan kekuasaan. Untuk itu terjadilah praktik-praktik yang kurang terpuji. praktik politik bahkan telah memberikan citra mengenai politik yang sangat buruk di masyarakat. Istilah politik telah mendapatkan konotasi yang buruk dalam bahasa-bahasa dunia. Dalam percakapan sehari-hari, segala bentuk cara yang kotor disebut sebagai politik. Suami yang bisa punya istri banyak disebut main politik. Para penjilat di kantor yang berhasil mendekati pimpinan disebut hebat politiknya. Politik berkonotasi persekongkolan, intrik, pengkhianatan, iain di bibir lain di hati.
Tapi terlepas dari buruknya praktik politik yang terjadi dimana pun di segenap penjuru dunia, politik sebagai ilmu pada dasarnya bertujuan mulia untuk menyejahterakan seluruh bangsa atau bahkan umat manusia. Di balik ilmu politik terdapat filsafat politik yang dipenuhi dengan hal-bal yang 'seharusnya'. Politik harus dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik tidak boleh dipakai sebagai alat untuk mencapai kepentingan diri sendiri atau Kelompok semata-mata. Dari keharusan macam inilah yang kemudian memunculkan gagasan demokrasi yang terus-menerus berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Demi pencapaian tujuan politik yang mulia itulah kekuasaan tidak boleh berada di tangan satu orang atau kelompok. Harus ada pembagian kekuasaan agar demokrasi seperti yang dicita-citakan itu dapat terwujud. Meskipun dalam realitasnya selalu saja politik diwarnai dengan intrik yang mementingkan diri sendiri dan kelompok. Termasuk kecenderungan yang terjadi pada masa kini di seluruh penjuru dunia, tentu saja di Indonesia juga. Belakangan ini semakin deras arus pengusaha yang memasuki dunia politik. Sebenarnya semua orang memang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih di dalam politik, kecuali orang-orang yang telah kehilangan hak pilihnya atau belum berhak memilih atau dipilih. Namun, masuknya para pengusaha di dalam kekuasaan politik terutama eksekutif -kendati dalam legislatif pun bisa pula terjadi- memungkinkan terjadinya conflict of interest. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, pengusaha yang menjadi penguasa menjadi lebih leluasa untuk mengeduk keuntungan bisnis. Hal ini sesungguhnya sudah diingatkan oleh para pemikir sejak zaman dahulu. Masuknya pengusaha dalam politik memungkinkan timbulnya oligarki.
Secara politis, untuk dapat mengatur kehidupan manusia, dibutuhkan kekuasaan yang legitimate sehingga memiliki kekuatan dalam pengambilan keputusan dan memaksakannya dalam kehidupan sosia secara formal. Cara para aktor sosial dalam memperebutkan kekuasaan harus diatur untuk menghindari terjadinya bencana kemanusiaan seperti peperangan dan pembumihangusan. Di sepanjang sejarah ummat manusia di segala pelosok dunia manapun, selalu saja terjadi kekerasan macam ini. Untuk itu, ilmu politik memberikan batasan-batasan dalam merebut tampuk kekuasan. 'Pertempuran' yang dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan pun harus diatur dan diberi aturan main yang jelas.

Meningkatnya persaingan partai politik
Persaingan yang sehat merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam iklim demokrasi. Untuk dapat memegang kekuasaan, partai politik atau seorang kandidat harus memenangkan pemilihan umum dengan perolehan suara terbanyak di antara kontestan-kontestan lainnya. Dilepaskannya keberpihakan kekuatan formal negara dan institusinya membuat para kontestan harus mampu memenangkan persaingan dalam koridor ketentuan pemilihan umum. Semakin bertambahnya partai politik membuat persaingan semakin tinggi pula. Masyarakat juga dihadapkan pada lebih banyak alternatif pilihan selama periode pemilihan umum. Kenyataan bahwa suatu partai politik memiliki massa tradisional bukanlah jaminan bahwa massa tradisionalnya itu tidak akan pindah dan migrasi ke partai politik lain. Tuntutan masyarakat akan kinerja partai politik atau seorang kontestan pun menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pilihan yang ada. Masing-masing kontestan harus mampu menunjukkan bahwa merekalah yang paling mampu untuk memecahkan permasalahan bangsa dan negara.

Kebutuhan akan metode dan pendekatan marketing
Dengan kondisi persaingan ini, masing-masing kontestan membutuhkan cara dan metode yang tepat untuk bisa memenangkan persaingan. kemenangan dalam dunia politik dilakukan dengan melihat siapa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Namun, kemenangan ini juga haus dikaji dan dianalisis dengan hati-hati mengingat perimbangan kekuasaan yang ada di antara partai-partai politik. Koalisi seringkali muncul sebagai upaya untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar sekaligus untuk menjaga stabilitas pemerintah. Dalam konteks inilah kontestan membutuhkan metode dan konsep yang tepat. Di tengah-tengah era demokratisasi dan kapitalisme, strategi-stralegi marketing merupakan cara yang tepat untuk menghasilkan kemenangan dalam pemilihan umum. Tentunya metode dan konsep marketing memerlukan banyak sekali adaptasi dengan situasi dan kondisi dunia politik. Tidak semua metode marketing dapat langsung digunakan dalam konteks dunia politik. Namun, partai politik dan kontestan sangat membutuhkan metode efektif untuk bisa membangun hubungan jangka panjang dengan konstituen dan masyarakat luas. Marketing, yang diadaptasi dalam dunia politik, dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas transfer ideologi dan program kerja, dari kontestan ke masyarakat. Di samping itu, marketing dapat memberikan inspirasi tentang cara suatu kontestan dalam membuat produk berupa isu dan program kerja berdasarkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat.

Perdebatan marketing politik
Marketing politik sebagai suatu domain baru tidak terlepas dari polemik yang menyertainya. Marketing politik merupakan penerapan ilmu mar¬keting dalam kehidupan politik. Penggabungan dua hal yang sangat berbeda ini tentunya masih meninggalkan banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Permasalahan yang ada menyangkut cara dan metode yang dapat digunakan, etika dan moralitas, hingga konsekuensi di balik penerapan marketing politik. Pihak-pihak yang setuju maupun tidak setuju perlu dibeberkan di sini agar pemahaman kita tentang marketing politik menjadi lebih komprehensif. Dengan demikian, kita semua bisa menghindari hal-hal yang dikhawatirkan oleh pihak-pihak yang tidak setuju terhadap penerapan ilmu marketing politik.

Peran marketing dalam dunia politik
Tidak ubahnya domain aktivitas sosial lain, dunia politik telah menjadi lebih terbuka dan transparan. Dunia politik pun tidak kebal terhadap persaingan. Bahkan bidang ini justru sangat kental diwarnai persaingan. Persaingan terjadi untuk memperebutkan hati konstituen dan membuat mereka memilih kandidat (partai poiitik atau kontestan individu) masing-masing selama periode pemilihan umum. Persaingan tidak hanya terjadi di antara kontestan dalam memperebutkan konsumen mereka, melainkan juga dalam lobi-Iobi politik di parlemen. Persaingan ini menuntut masing-masing konsumen untuk memikirkan cara dan metode yang efektif untuk mampu berkomunikasi dan meyakinkan konstituen bahwa kandidat atau partai politik merekalah yang paling layak dipilih,
Dalam hal ini marketing lebih dilihat secara filosofis dan relasional. Filosofis dalam arti marketing adalah mekanise pertukaran antara dua pihak atau lebih. Antara kontestan dengan konstituen terdapat pertukaran ide, gagasan, ideologi dan program kerja. Partai politik dan kandidat individu mencoba untuk menyusun program kerja yang sesuai dengan harapan masyarakat, Selain itu program kerja perlu dikomunikasikan dan mendapatkan umpan balik (feedback) dari masyarakat, sehingga terbentuk hubungan yang relasional. Peran konstituen tidak terbatas sewaktu pemilihan umum saja. Untuk dapat membangun loyalitas kepada partai politik atau kontestan individu, konstituen perlu dibina dan dipertahankan serta dimengerti dalam hal yang menyangkut permasalahan mereka. Di samping itu, partai politik perlu memikirkan identitas politik mereka sekaligus untuk membedakan partai mereka yang khas dengan partai politik lain, baik dari sisi ideologi, program kerja sapai pada atribut-atribut fisik partai seperti simbol, logo, dan warna yang digunakan.

Pro-marketing politik
Anjuran penggunaan metode marketing dalam dunia politik dilakukan oleh Kotler dan Levy (1969), dan Levy dan Kotier (1979). Melihat bahwa marketing sebagai media interaksi antara dua atau lebih struktur sosial (Bagozzi. 1975; 1975). Kemudian penelitian dan artikel yang memuat peranan marketing politik dalam bagaimana sebuah partai memenangkan perolehan suara mulai banyak dilakukan. Meskipun disiplin marketing politik berkembang akhir-akhir ini, namun aklivitas marKeting dalam politik telah dilakukan sebelum kaum intelektual dan akademisi memeIajarinya.
Wring (1996) menunjukkan bahwa aktivitas marketing politik telah lama dilakukan oleh partai-partai politik di Inggris. Dinyatakan bahwa semasa periode Pemilu di Inggris tahun 1929, Partai Konservatif menjadi partai pertama yang menggunakan agen biro iklan (Holford-Boltomley Advertising Service) dalam membantu mendesain dan mendistribusikan poster dan pamflet. Sementara Partai Buruh memulai penggunaan marketing dalam dunia politik ketika diresmikannya departemen publikasi di tahun 1917, dibantu oleh agen publikasi Egerton Wake yang kemudian berperan aktif dalam kampanye Partai Buruh. Kemudian Wring (1996) juga menunjukkan bagaimana peranan media massa seperti TV, radio, koran dan advertising mewarnai kehidupan politik di Inggris. Ditunjukkan juga bagaimana sebuah agen publikasi bernama Saatchi and Saathi berperan dalam penciptaan slogan "Labour isn't Working' yang mampu memengaruhi penurunan tingkat kepercayaan massa Partai dan mengantarkan Partai Konservatif memenangkan Pemilu di tahun 1979.
Rothscild (1978) dalam artikelnya menunjukkan bahwa iklan berperan aktif dalam pemilihan presiden Amerika Serikat semenjak era presiden Abraham Lincoln (1984). Media publikasi dalam pemilihan presiden pun mengalami evolusi. Sampai tahun 1926 pesan politik di Amerika Serikat dilakukan melalui media cetak seperti; poster, pamflet, koran dan majalah. Sejak tahun 1926 sampai 1952, terdapat penggunaan massal radio dalam menyampaikan pesan-pesan politik. Setelah itu Dwight Eisenhower memulai penggunaan iklan di TV sebagai media kampanye pemilihan presiden di tahun 1952. Pentingnya peranan iklan dan publikasi selama periode kampanye tergambar dari semakin meningkatnya jumlah anggaran yang dikeluarkan partai-partai dalam item-item ini. Tercatat Dwight Eisenhower menghabiskan dana sekitar US $ 8 juta dalam pemilihan presiden 1952, sementara Ricnard Nixon menghabiskan dana sekitar US $ 60 juta untuk memenangkan pemilihan presiden di tahun 1972. Tetapi besarnya dana kampanye saja tidak menjamin bahwa sebuah partai politik atau calon presiden bisa memenangkan Pemllu. Jamieson et al., (1999) menjelaskan salah satu kunci kemenangan Bill Clinton dalam pemilihan presiden Amerika Serikat adalah kemampuan tim kampanye Partai Demokrat dalam menyerap aspirasi masyarakat dan menuangkannya dalam slogan kampanye Bill Clinton yang lebih positif dan elegan ketimbang Dole dari Partai Republik yang menjadi lawannya.
Sementara Huckfeldt et al., (2000) menyatakan bahwa komunikasi politik akan menjadi efektif apabila pesan politik yang akan disampaikan melalui interaksi sosial adalah informasi yang jelas. Sehingga tidak akan memunculkan beragam interpretasi publik. Selain itu, si penerima pesan juga harus memiliki tingkat kepercayaan terhadap si pengirim pesan politik.
Selanjutnya marketing berkontribusi besar terhadap partai politik dalam cara mengemas pesan politik yang berbentuk iklan (Rothscild,1978; Jamieson et al., 1999), dalam cara mentransfer pesan politik ke publik (EIebash, 1984), juga bagi masyarakat umum dalam memetakan posisi sebuah partai politik di antara partai politik lainnya (Butler & Collins, 1996), membantu partai politik dalam segmentasi pemilih berdasarkan geografis, demografi, perilaku dan psikografi (Smith & Hirst, 2001). Di samping itu, marketing berkontribusi besar terhadap pemilihan media yang paling efektif berdasarkan kondisi sosio-budaya sebaah negara, sehingga pesan politik yang disampaikan oleh partai politik bisa mencapai sasaran. Seperti ditunjukkan oleh Zhao dan Chaffe (1995) betapa efektivitas berita di TV dan informasi kampanye berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Selain itu, dengan menggunakan metode marketing, partai politik bisa mengukur konsekuensi dan efektifitas media serta metode yang digunakan, misalnya pengaruh debat antar calon presiden atau antar wakil-wakil partai dalam memengaruhi perilaku pemilih (Schrott, 1990).

Kontra marketing politik
Sikap skeptis terhadap marketing politik berangkat dari pemahaman hahwa marketing adalah ilmu yang dikembangkan dalam dunia bisnis dan ditujukan untak mengejar keuntungan. Yang menjadi pusat perhatian marketing adalah upaya membuat konsumen membeli produk dan jasa yang dihasilkan oleh perasahaan. Tugas dan peran ilmu marketing adalah melancarkan fungsi transaksi ekonomi dalam mengefisiensikan distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Penggunaan ilmu marke¬ting di luar konteks perusahaan bisnis dan masuk ke sistem yang lebih luas seperti interaksi sistem sosial, dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial dan menurunkan reputasi ilmu marketing itu seadiri (Laczniak & Michie, 1979). Memperuas marketing di luar domain tradisional (Kotler & Levy, 1969) dipercaya akan merusak system sosial. Karena sistem sosial terdiri dari spesialisasi fungsi (Parson, 1971), memasukkan marketing di luar sistem tradisional seperti hukum, potitik, matematika, sosiologi, theologi dan psikologi sosial justru dianggap akan meruntuhkan spesialisasi fungsi sosial dan nantinya akan menghancurkan struktur sosial yang ada (Laczniack & Michie, 1979).
Lebih lanjut, aplikasi marketing dalam dunia politik meninggalkan masalah etika dan moral (Laczniack et al., 1979; Lock & Harris,, 1996). Dalam aktivitas marketing tidak jarang sebuah organisasi mengemas informasi berbeda dengan kenyataan bahkan sampai memanipulasi informasi yang ditransfer. Dalam kaitan ini, konsumen hanya diberi informasi yang menyangkut satu sisi saja, yaitu informasi yang semata-mata dimaksudkan untuk menguntungkan perusahaan dan organisasi. Konsumen lebih dilihat sebagai korban manipulasi informasi. Hal ini ikut berkontribusi dalam kelahiran organisasi yang melindungi konsumen di banyak negara (seperti YLKI di Indonesia). Padahal, kehadiran politik dalam sistem sosial ditujukan untuk mempeibaiki kondisi dan kualitas masyarakat suatu komunitas (negara) melalui kontrak sosial (Radcliff, 2001). Politik berkaitan erat dengan upaya melakukan strukturasi dan mengatur eksistensi sosial (Bauer et al., 1996). Selain itu, politik berkait¬an erat pula dengan pemrosesan sebuah ide (Butler & Collins, 1994). Sehingga marketing dikhawatirkan bisa meracuni dunia politik dengan cara-cara eksploitasi dan manipulasi publik.
Selain itu juga muncul kekhawatiran akan 'Amerikanisasi kehidupan politik' (Baines et al., 2001; Elebash, 1984). Penggunaan metode marketing yang berlebihan dalam kehidupan berpolitik hanya akan melahirkan komersialisasi politik dan mereduksi arti berpolitik ini sendiri (O'Soughnessy, 2001). Meluasnya penggunaan TV, media cetak dan radio sebagai media advertising dan publikasi dikhawatirkan akan semakin menjauhkan masyarakat atas ikatan ideologi sebuah partai dengan massanya. Masyarakat cenderung akan lebih memerhatikan aspek artistik dari sebuah iklan politik ketimbang pesan politik itu sendiri. Keberatan ini bisa dikaitkan pula dengan gejala yang telah disebutkan, yakni masuknya para pengusaha ke dunia politik. Para pengusaha niscaya merupakan para 'jawara' dalam soal marketing—sekurang-kurangnya mereka didukung oleh para jagoan marketing. Dengan marketing yang hebat, setidaknya mereka telah diuntungkan dalam kampanye ketimbang para pesaing mereka yang belum memahami marketing politik. Isu politik berbeda dengan produk komersial (O'Soughnessy, 2001). Isu politik berkaitan erat dengan nilai dan ideologi, dan bukan sebuah produk yang diperjualbelikan. Isu politik merupakan sistem nilai simbol yang menghubungkan individu dengan struktur sosial. Antara marketing dan politik adalah dua sistem yang berbeda, dimana masing-masing struktur memiliki aturan sendiri-serdiri. Penerapan marketing dalam dunia politik harus melihat dan mengadaptasi nilai-nilai yang ada dalam dunia politik.

Konvergensi pemahaman marketing politik
Meskipun masih banyak hal yang mesti dibenahi dalam aplikasi marketing ke dunia politik, namun hal ini tidak mengurangi minat baik politikus dan atau marketer dalam mengembangkan marketing politik. O'Cass (1996) menhatakan bahwa filosofi marketing memberikan arahan bagaimana kita bisa menerapkan ilmu marketing dalam dunia politik. Karena pada dasarnya ilmu marketing melihat bahwa kebutuhan konsumen (stakeholder) adalah hal terpenting sehingga perlu diidentitikasi dan dicari bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut. Konsep marketing komersial berdasarkan pada premis bahwa semua perencanaan dan operasi perusahaan berorientasi pada pemuasan konsumen (stakeholder). Ketika filosofi marketing diaplikasikan dalam dunia politik maka partai politik atau seorang kandidat presiden untuk dapat memenangkan sebuah Pemilu harus bisa menangkap keresahan dan permasaIahan mendasar dari masyarakat. Sehingga program-program yang ditawarkan bisa menjawab akar permasalahan yang ada. Kemudian mampu menumbuhkan keyakinan pemilih untuk memberikan suara ke sebuah partai politik atau calon presiden.
Tentunya konsep agar dunia politik berorientasi pasar (O'Cass, 2001) bukan berarti sebuah partai politik atau seorang kandidat presiden harus at all cost memenuhi apa saja keinginan pasar. Karena masing-masing partai politik memiliki konfigurasi ideologi dan aliran pemikiran yang menjadikan satu partai berbeda identitas dengan partai iainnya. Pesan yang ingin disampaikan dalam konsep marketing politik adalah;
(1) Menjadikan pemilih sebagai subjek, bukan objek partai politik atau seorang kandidat Presiden,
(2) Menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sehagai langkah awal dalam menyusun program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai (Dermodyl & Scullion, 2001),
(3) Marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan dengan pemilih sehingga dari situ akan terbangun kepercayaan, sehingga selanjutnya akan diperoleh dukungan suara mereka (O'ShaughnessyJ 2001).

Mengikuti O'Shaughnessy (2001), marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk menjual partai politik atau kandidat presiden ke pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah partai politik atau kontestan bisa membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual. Marketing politik adalah konsep permanen yang haras dilakukan terus-menerus oleh sebuah partai politik atau kontestan dalam membangun kepercayaan dan image publik (Butler & CoHins, 2001). Membangun kepercayaan dan image ini hanya bisa dilakukan melalui hubungan jangka panjang, tidak hanya pada masa kampanye (Dean & Croft, 2000).
Marketing politik harus dilihat secara komprehensif (Lees-Marshmant, 2001). Pertama, marketing politik lebih dari pada sekadar komunikasi politik. Kedua, marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses organisasi partai politik. Tidak hanya tentang kampanye politik tetapi juga sampai pada tahap bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan simbol, image, platform dan program yang ditawarkan. Ketiga, marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya terbatas pada teknik marketing, namun juga sampai strategi marketing, dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, dan desain produk sampai ke market intelligent serta pemrosesan informasi. Keempat, marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu dalam pembahasannya, seperti sosiologi dan psikologi. Misalnya produk politik merupakan fungsi dari pemahaman sosiologis mengenai simbol dan identitas, sedangkan factor psikologisnya adalah kedekatan emosional dan karakter seorang pemimpin, sampai ke aspek rasionalitas platform partai. Kelima, konsep. marketing politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilihan umum sampai ke proses lobi di parlemen (Harris, 200I).
Dengan demikian, sudah jelas apakah yang dimaksudkan dengan marketing politik di sini. Marketing politik bukan dimaksudkan untuk menjual kontestan kepada publik, melainkan sebagai teknik untuk memelihara hubungan dengan publik agar tercipta hubungan dua arah yang langgeng. Namun, masih tersisa banyak pertanyaan yang belum terjawab, terutama yang menyangkut strategi-strategi.

Peran marketing politik
Marketing politik memiliki peran yang ikut menentukan dalam proses demokratisasi. Di negara-negara maju, partai-partai politik mengerahkan kemampuan marketing mereka untuk merebut sebanyak mungkin konstituen. Berbagai teknik yang sebelumnya hanya dipakai dalam dunia bisnis, sekarang ini telah dicangkokkan ke dalam kehidupan politik. Semakin canggih teknik marketing yang diterapkan dalam kehidupan politik. Para anggota tim sukses berusaha 'menjual' jago mereka dengan berbagai cara yang seringkali kita ''rasakan tak ada bedanya dengan. mengiklankan produk di media, mempromosikan outdoor maupum indoor. Segala taktik dipakai agar rating jago mereka tinggi dan rakyat memilihnya di bilik-bilik suara. Selain itu, marketing politik dapat memperbaiki kualitas hubungan antara kontestan dengan pemilih. Pemilih adalah pihak yang harus dimengerti, dipahami dan dicarikan jalan pemecahan dari setiap permasalahan yang dihadapi. Marketing politik meletakkan bahwa pemilih adalah subjek, bukan objek manipulasi dan eksploitasi.
Satu pertanyaan muncul, apakah marketing politik hanya bisa diterapkan di negara-negara maju? Apakah marketing politik hanya untuk negara Amerika Serikat dan Eropa? Niscaya tidak demikian. Di negara-negara berkembang pun hukum-hukum marketing perlu diterapkan dalam dunia politik untuk menarik sebanyak mungkin pemberi suara. Marketing politik tidak menentukan kemenangan sebuah partai politik atau kandidat Presiden (O'Shaughnessy, 2001). Marketing politik hanyalah sebuah metode dan peralatan bagi partai politik atau calon presiden untuk melakukan pendekatan kepada publik. Sistematisasi pendekatan yang dilakukan oleh kandidat perlu dilakukan mengingat selalu terdapat keterbatasan sumberdaya yang dimiliki setiap kandidat.
Di kebanyakan negara berkembang, peran dan fungsi politik dilakukan oleh sekelompok kecil elit politik. Karena itu, seringkali mekanisme politiknya sangat ditentukan oleh dinamisitas elit-elit politik. Mobilisasi massa digerakkan oleh elit-elit politik. Orientasi pada tokoh masih terasa kuat. Satu tokoh yang berpengaruh akan menentukan berhasil tidaknya upaya suatu kelompok atau partai dalam perebutan kursi. Kesadaran masyarakat kelas bawah relatif kecil untuk ikut serta mewarnai kebijakan-kebijakan publik. Masyarakat kelas bawah masih pasif dan lebih banyak menunggu untuk digerakkan oleh elit politik. Hal ini tentunya membawa konsekuensi bahwa masyarakat kelas bawah seringkali dijadikan objek politik oleh para elit, Mobilisasi mereka dilakukan untuk pencapaian tujuan elit politik. Selain itu, konsekuensi dari politik yang sangat tersentralisasi membuat kontrol sosial sulit dilakukan. fungsi kontrol lebih banyak dliakukan oleh kekuatan-kekuatan oposan elit politik. Begitu tersentralisasi-nya sehingga masyarakat lapisan bawah lidak dapat atau sulit, mendapatkan informasi. Hal ini menyulitkan mereka untuk menganalisis apa sebenarnya yang terjadi. Marketing politik dapat berperan dalam pendistribusian informasi sehingga memudahkan akses pada informasi yang dulunya sulit dijangkau.
Besarnya peran para tokoh elit di negara-negara berkembang memberikan kesan bahwa marketing politik tidak diperlukan. Padahal tidak demikian. Fungsi marketing politik bukan sekadar untuk mempromosikan tokch atau tokoh-tokoh partai belaka. Marketing poiitik juga berfungsi dalam pembelajaran politik kalangan bawah. Bila suatu negara menghendaki pemerintahan yang demokratis, niscaya diperlukan marketing politik. Lain halnya kalau cara-cara otoriter hendak dipertahankan terus dan masyarakat tetap dibiarkan 'bodoh' politik. Dalam bagian ini akan diuraikan betapa marketing politik memiliki beberapa peran yang dapat dilakukan untuk proses demokratisasi. Untuk tebih detailnya kita simak uraian sebagai berikut.
Tujuan utama interaksi sosial dalam suatu masyarakat adalah membuat suatu sistem dapat memberdayakan (empowering) dan memampukan (enabling) masyarakat menjadi kritis. Masyarakat kritis yang dimaksudkan dalam hal ini adalah masyarakat yang memiliki landasan dan kemampuan untuk terus menyikapi dan mengkritisi setiap perkembangan kondisi yang ada. Sikap kritis ini terutama dirujukan kepada setiap kebijakan dan keputusan elit politik. Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang dalam beberapa hal mengetahui dari mana mereka berasal, mengetahui bagaimana evolusi berjalan untuk mencapai tahapan sekarang, juga untuk memahami tujuan kolektif yang ingin dicapai. Masyarakat kritis juga masyarakat yang dapat mengevaluasi setiap aktivitas politik, baik yang dilakukan elit politik, partai politik atau kontestan individual. Marketing politik dilihat sebagai suatu proses yang dapat meningkaatkan daya kritis masyarakat dalam berpolitik. Agar rakyat tidak selalu menjadi korban dan objek manipulasi para elit politik, masyarakat perlu diberdayakan dan perlu ada kondisi yang memungkinkan proses pembelajaran politik.

Mengukur kinerja marketing politik
Menurut Baines, ada5 ukuran (kualitatif dan kuantitatif) Untuk mengukur keberhasilan kinerja political marketing:
1. Pangsa suara(share of thevote)
2. Perolehan kursi(seats won)
3. Tingkat kepuasan para pemilih (voter satisfaction)
4. Tingkat kepercayaan para pemilih (voter confidence)
5. Pengaruh imbal-balik dengan para pemilih (voter interaction)