Selasa, 16 Agustus 2011

Risalah Ramadhan : ‘Deterjen’ ampuh penghancur dosa


Arrahmah.com – Bulan suci Ramadhan seringkali disebut syahrul maghfirah, bulan ampunan. Alasannya, di bulan ini banyak amal shalih yang berkhasiat sebagai ‘deterjen’ yang ampuh mencuci noda-noda dosa dari tubuh kaum muslimin. Salah satunya adalah shaum Ramadhan. Rasulullah SAW menegaskan bahwa shaum Ramadhan yang dilakukan dengan benar akan menyapu bersih dosa-dosa sampai hilang tak berbekas.

Penjelasan Rasulullah SAW tersebut merupakan kabar gembira bagi umat Islam yang melaksanakan shaum Ramadhan. Umat Islam akan semakin bersemangat mengisi bulan penuh berkah ini dengan amalan-amalan yang diwajibkan dan disunahkan. Tujuannya tentu saja mendapat limpahan ampunan Allah SWT, sehingga mereka keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan suci, bersih dari noda-noda dosa.

Di dalam hadits yang shahih dijelaskan sebagai berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 38, Muslim no. 760, An-Nasai no. 2170, Ibnu Majah no. 1631, dan Ahmad no. 7130)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ))

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu dan dosa-dosa kecilnya yang akan datang.” (HR. Ahmad no. 8775. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan sanadnya hasan. Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi menyatakan sanadnya shahih)

Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah SAW mengaitkan pengampunan dosa-dosa orang yang shaum dengan dua syarat, yaitu iman dan ihtisab.

Syarat Pertama, Iman

Iman adalah meyakini kebenaran perintah dan janji pahala Allah. Artinya, ia mengimani bahwa shaum adalah perintah Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dan ia mengimani pahala yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.

Sebagai seorang muslim, sikap kita adalah sami’na wa atha’na (mendengar dan menaati) semua perkara yang telah ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Setiap perintah Allah SWT pasti memiliki maslahat di dunia dan akhirat. Allah SWT juga menjanjikan pahala yang besar di sisi-Nya kelak. Demikian pula, setiap larangan Allah SWt pasti mengandung madharat di dunia dan akhirat. Allah SWT juga mengancam dengan siksaan yang pedih jika larangan-Nya dilanggar.

Allah SWT berfirman,

Sesungguhnya jawaban orang-orang mumin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara diantara mereka ialah ucapan ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur (24): 51)

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang muminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab (33): 36)

Dengan adanya kesadaran, penghayatan, dan ketundukan hati ini maka seorang muslim tidak akan ragu sedikit pun untuk mengerjakan perintah syariat dan meninggalkan larangan syariat. Ia akan berusaha mengerjakan perintah syariat dengan sebaik-baiknya, meski terasa berat bagi hawa nafsunya. Ia akan meninggalkan larangan syariat dengan patuh, walau untuk itu ia harus mencampakkan hawa nafsunya.

Dalam hadits shahih dijelaskan bahwa melaksanakan shaum Ramadhan adalah bagain dari iman kepada Allah SWT.

عن ابن عباس : (( إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ لَمَّا أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .. أَمَرَهُمْ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ ، قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ ؟ قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامُ الصَّلاةِ ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ ، وَصِيَامُ رَمَضَانَ ، وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ ))

Dari Ibnu Abbas bahwasanya rombongan utusan suku Abdul Qais datang kepada Nabi SAW…Maka Nabi SAW memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Beliau bertanya, “Tahukah kalian apakah beriman kepada Allah Yang Maha Esa itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau menerangkan: “Yaitu bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan kalian menyerahkan seperlima harta rampasan perang (suku Abdul Qais selalu berperang melawan suku musyrik Mudhar. Maka disyariatkan menyerahkan seperlima harta rampasan perang kepada baitul mal kaum muslimin, lihat QS. Al-Anfal (8): 41, -edt) (HR. Bukhari no. 53, Muslim no. 17, Abu Daud no. 4057, Tirmidzi no. 2536, An-Nasai no. 4945, Ahmad no. 2010, dan Ibnu Khuzaimah no. 1871)

Satu-satunya tujuannya adalah mengabdikan diri kepada Allah SWT. Ia meyakini sepenuhnya bahwa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat hanya bisa diraih dengan totalias ketundukan kepada syariatnya. Ia meyakini sepenuhnya bahwa buah ketaatan adalah ridha Allah SWt dan kenikmatan abadi di surga-Nya. Imannya menumbuhkan keyakinan yang mantap, tidak memberi ruang sedikit pun untuk ragu-ragu, menentang, atau menyimpang.

Allah SWT berfirman,

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An-Nisa’ (4): 13)

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur (24): 52)

Syarat Kedua, Ihtisab

Ihtisab adalah mengerjakannya semata-mata demi mengharap ridha Allah SWT dan pahala di sisi-Nya. Terkadang seseorang mengimani perintah Allah dan Rasul-Nya, namun ia mengerjakannya karena riya’, sum’ah, ujub, atau tujuan duniawi, sehingga perbuatannya tidak bisa disebut ihtisab.

Seorang muslim melakukan shaum Ramadhan semata-mata karena mengharap ridha Allah SWT dan janji pahala di sisi-Nya. Ia ingin termasuk hamba Allah SWT yang diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ia berharap dapat memasuki surga dari pintu Ar-Rayyan. Ia berhasrat shaumnya menjadi perisai diri dari segala kemaksiatan dan kebiasaan buruk. Ia menginginkan shaum menjadi pemberi syafa’at baginya di pengadilan akhirat kelak. Inilah landasan ia melakukan shaum, ihtisab lillahi ta’ala.

Seorang muslim tidak melakukan shaum karena ikut-ikutan dengan orang-orang di sekitarnya yang juga melakukan shaum. Ia tidak melakukan shaum agar dilihat dan dipuji sebagai orang shalih oleh orang-orang di sekitarnya. Ia tidak melakukan shaum karena hendak membanggakan amalnya di hadapan orang lain. Ia tidak melakukan shaum agar mendapat keuntungan duniawi; THR (tunjangan hari raya), libur Ramadhan, pengurangan jam belajar-mengajar dan kerja, penghematan uang belanja, dan lain-lain.

Dosa Amblas Blas..blas..blas…

Jika dua syarat ini terpenuhi, maka shaum yang dilakukan oleh seorang muslim akan membuahkan hasil yang indah di dunia dan akhirat. Keimanan, keshalihan, dan ketakwaannya akan meningkat. Setelah Ramadhan, ia menjadi orang yang lebih baik. Hubungan dengan Allah SWT akan lebih erat dan dekat. Kehidupannya juga lebih bermanfaat bagi sesama manusia. Ia seakan terlahir kembali. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini menjadi karakternya berhasil ia buang jauh-jauh. Kebiasaan-kebiasaan baik yang selama ini tidak pernah ia lakukan, kini menjadi menu amal hariannya. Ia benar-benar menunjukkan sosok hamba Allah yang telah dibersihkan dosa-dosanya. Ia sungguh memberi tauladan bagaimana menjalani lembaran kehidupan baru yang penuh dengan catatan kebaikan.

Apakah semua dosanya diampuni?

Sebagian orang menyangka bahwa hadits-hadits tentang shaum di atas menerangkan seluruh dosa orang yang shaum akan diampuni, baik dosa besar maupun dosa kecil. Anggapan demikian adalah keliru. Pendapat yang benar, dosa-dosa yang diampuni oleh amalan shaum adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar harus didahului oleh taubat nashuha, tidak cukup dengan shaum semata. Selain itu, ia juga harus merealisasikan tauhid dan bersih dari syirik. Demikianlah yang dijelaskan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.

Allah SWT menjelaskan bahwa amalan yang diterima-Nya adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang berislam, beriman, dan bertauhid. Sebanyak dan sebaik apapun amalan seorang hamba, jika dicampuri oleh kesyirikan atau kekufuran, pasti akan ditolak oleh Allah SWT. Amalannya akan sia-sia belaka, sedikit pun tidak ada nilainya di sisi Allah SWT.

Allah SWT berfirman tentang amal kebaikan orang-orang kafir,

“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim (14): 18)

“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun… Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tiada dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. An-Nuur (24): 39-40)

Allah SWT berfirman tentang amal kebaikan orang-orang musyrik,

Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am (6): 88)

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (Muhammad SAW) dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar (39): 65)

Dalam hadits yang shahih juga disebutkan,

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : (( مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا يُصَلِّي الْخَمْسَ وَيَصُومُ رَمَضَانَ غُفِرَ لَهُ ، قُلْتُ : أَفَلا أُبَشِّرُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : دَعْهُمْ يَعْمَلُوا ))

Dari Mu’adz bin Jabal RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menghadap Allah SWT tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, menunaikan shalat wajib lima waktu, dan melaksanakan shaum Ramadhan, niscaya dosa-dosa (kecil)nya akan diampuni.” Mu’adz berkata: “Tidakkah sebaiknya aku memberitahukan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Beliau menjawab, ”Biarkan saja mereka melakukan amal (shalih lainnya juga).” (HR. Ahmad no. 21253. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1315)

Demikian pula, dosa-dosa kecil bisa dihapuskan dengan amalan shaum apabila dosa-dosa besar terlebih dahulu ditinggalkan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT,

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’ (4): 31)

Firman Allah SWT di atas ditegaskan ulang oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih berikut ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ : (( الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ))

Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shalat wajib lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, (shaum) Ramadhan ke (shaum) Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa (kecil) di antara rentang waktu tersebut, jika ia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233, Tirmidzi no. 198, Ibnu Majah no. 1076, dan Ahmad no. 7089)

Kesimpulan

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih di atas bisa disimpulkan bahwa shaum Ramadhan merupakan amalan yang dapat menghapuskan dosa-dosa kecil yang telah lalu dan dosa-dosa kecil yang akan datang, apabila telah terpenuhi beberapa syarat berikut:

  1. Pelakunya adalah seorang muslim yang beriman dan bertauhid, bersih dari dosa kufur dan syirik.
  2. Ia melakukan shaum karena ikhlas mencari ridha Allah semata dan sebagai bentuk perwujudan iman kepada-Nya.
  3. Ia menjauhi dosa-dosa besar.

Semoga kita termasuk golongan umat Islam yang memenuhi syarat-syarat ini, sehingga Allah SWT berkenan menghapuskan dosa-dosa kecil kita yang telah lalu dan yang akan datang. Amin.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Risalah Ramadhan : Amalan-amalan terlarang di waktu shaum Ramadhan


Arrahmah.com – Shaum Ramadhan memiliki keutamaan yang sangat agung dan manfaat yang sangat banyak dari berbagai aspek; jasmani, ruhani, medis, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Semua keutamaan dan manfaat tersebut akan mengantarkan seorang muslim mencapai derajat takwa. Buahnya bisa dilihat secara nyata dalam hidup keseharian seorang muslim selama sebelas bulan setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan.

Sepanjang tahun, ia akan menunjukkan keshalihan pribadi dan sosial. Secara vertikal, hablun minallah, ia memiliki hubungan ibadah dan taqarrub yang sangat kuat dengan Allah SWT. Dan secara horisontal, hablun min an-naas, ia menampilkan akhlak yang baik kepada sesama manusia; anak, istri, tetangga, kerabat, lingkungan kerja, dan lainnya. Ia hidup lebih sabar, disiplin, jujur, bertanggung jawab, amanah, ulet, penyayang, peduli sesama, dan sederhana. Ia jauh dari kebohongan, egoisme, kekikiran, pemborosan, penipuan, kezaliman, dan kemaksiatan. Ia sukses menjadi lebah yang senantiasa menebar kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Buah yang indah dan keutamaan yang agung tersebut bukanlah hasil dari sebuah ‘shaum biasa’. ‘Shaum biasa’ adalah shaum yang sekedar menggugurkan kewajiban. Ia melakukan shaum karena semua muslim di sekitarnya juga melakukannya. Ia melakukan shaum sekedar mengacu kepada hukum-hukum fiqihnya: memenuhi syarat dan rukun serta menjauhi pembatalnya semata. Shaum baginya hanyalah tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri sejak fajar fajar sampai matahari tenggelam.

Secara hukum fiqih, apa yang ia lakukan memang sudah benar. Shaumnya sah dan ia telah menunaikan kewajibannya. Hanyasaja, Islam menginginkan lebih jauh dari shaumnya. Bukan hanya rukun dan syarat shaum yang dipenuhi, serta pembatal-pembatalnya yang dijauhi. Agar sampai kepada derajat takwa yang sesungguhnya, ia juga dituntut untuk menjaga adab-adab dan sunah-sunah Ramadhan. Ada kebiasaan-kebiasaan buruk, bahkan hal-hal yang kelihatannya sepele, yang selayaknya ditinggalkannya. Ada kebiasaan-kebiasaan baik yang harus ia latih sehingga terbiasa dan pada gilirannya menjadi bagian dari perangainya. Ia mesti mempraktekkan berbagai akhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela, agar shaumnya berpahala dan membawa sejuta manfaat.

Di antara adab-adab yang harus diperhatikan olehnya adalah pesan-pesan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits berikut ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ))

Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shaum adalah perisai. Maka janganlah orang yang shaum melakukan hal yang jorok dan jangan pula melakukan tindakan yang bodoh. Jika seseorang mengganggunya atau mencaci makinya, maka hendaklah ia menjawab: ‘Aku sedang melakukan shaum 2X.’ Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari bau minyak wangi. Ia rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku SWT semata. Shaum itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya balasan. Dan satu amal kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( ليس الصيامُ من الأكلِ والشربِ ، إنما الصيامُ من اللغو والرفث ، فإن سابَّك أحدٌ أو جهل عليك ، فقل : إني صائم ، إني صائم ))

Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shaum itu bukanlah sekedar tidak makan dan minum. Lebih dari itu, shaum yang sebenarnya adalah menahan diri dari hal-hal yang sia-sia dan hal-hal yang jorok. Jika seseorang mencaci maki kamu atau berbuat bodoh kepadamu, maka katakanlah kepadanya: ‘Aku sedang melakukan shaum. Aku sedang melakukan shaum.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: Shahih menurut syarat imam Muslim. Syaikh Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam Shahih Targhib wa Tarhib no. 1082)

Dalam hadits-hadits ini dijelaskan bahwa orang yang melakukan shaum harus meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela yang bisa merusak shaum atau minimal mengurangi keutamaan dan manfaatnya. Hal-hal tercela tersebut adalah:

Pertama, Fa laa Yarfuts

Janganlah melakukan hal yang jorok. Istilah ar-rafats secara bahasa memiliki arti perkataan yang jorok dan keji. Adapun dalam istilah agama memiliki beberapa pengertian; ucapan yang keji dan jorok, hubungan seksual, pengantar menuju hubungan seksual (mencium, memeluk, mencumbu), mengobrol tentang lawan jenis, pornografi, pornoaksi, dan hal-hal yang semakna dan setujuan dengannya. Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, As-Sudi, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Mujahid, Az-Zuhri, dan Malik bin Anas menyatakan maksud dari ar-rafats adalah hubungan seksual. Ibnu Umar, Thawus bin Kaisan, Atha’ bin Abi Rabah, dan beberapa ulama salaf mengartikan ar-rafats adalah ucapan yang keji dan jorok. Sementara pakar bahasa Abu Ubaidah menafsirkan ar-rafats adalah perkataan yang sia-sia. (Fathul Qadir, 1/251)

Dalam hadits yang kedua, selain dilarang ar-rafats, orang yang shaum juga dilarang dari al-laghwu. Istilah al-laghwu diambil dari kata kerja dasar laghaa-yalghuw-laghwun dan laghaa-yalghii-laghyun. Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-laghwu memiliki pengertian: ucapan yang tidak diperlukan, ucapan yang tidak memiliki kebaikan, dan ucapan yang tidak ada nilainya. (Fathul Qadir, 1/289). Dalam bahasa Indonesia, al-laghwu sering dialih bahasakan menjadi ‘perkataan yang sia-sia, tidak ada manfaatnya, sendau-gurauan dan ucapan main-main’.

Bila hal itu kita komparasikan dengan realita kaum muslimin, maka kita bisa tercengang. Betapa banyak muda-mudi yang melakukan rafats tanpa sadar akan bahaya besarnya bagi nilai shaum mereka. Rafats telah menjadi fenomena umum di kota dan desa; sekolah, kantor, pabrik, pasar, dan tempat kerja; bahkan di masjid!

Sudah menjadi pemandangan umum, muda-mudi bukan mahram yang jalan-jalan bergandengan tangan ba’da Subuh atau ba’da Tarawih sambil ngobrol ngalor-ngilur tak karuan. Sudah umum, muda-mudi bukan mahram yang menunggu datangnya waktu berbuka dengan memadati mall-mall dan tempat hiburan sambil ‘cuci mata’. Sudah lazim, muda-mudi bukan mahram yang mengisi waktu luangnya dengan SMS-SMS-an, calling-calling-an, chating-chating-an, facebook-an dan twitter-an dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan oleh syariat. Betapa banyak ibu-ibu dan remaja putri yang mengisi waktunya dengan menikmati acara-acara info selebritis di TV, yang notabenenya mengobral aurat, percintaan, ghibah, dan seterusnya. Obrolan di sekolah, kantor, pabrik, pasar, kendaraan umum, dan tempat-tempat umum lainnya juga seringkali dibumbui (jika bukan menjadi menu utamanya) dengan pembicaraan tentang lawan jenis dan hal-hal semakna dengannya.

Demi keutamaan dan pahala shaum yang agung, semua bentuk rafats seperti ini harus kita tinggalkan. Pada awalnya pasti sangat berat, namun dengan kerja keras, kesungguhan, tekad baja, dan meminta pertolongan Allah…insya Allah kita akan mampu meninggalkannya. Selanjutnya, menggantinya dengan hal-hal yang membawa manfaat dunia dan akhirat.

Kedua, Wa laa yajhal

Janganlah bertindak bodoh. Maksudnya, janganlah melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak, tertawa terbahak-bahak, dan hal-hal yang sejenis dengannya. Dalam pengertian bahasa Arab dan syariat Islam, al-jahl (kebodohan) memiliki empat makna: pertama, tidak memiliki ilmu. Kedua, memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Ketiga, memiliki ilmu namun ilmunya bertolak belakang 180 % dengan kebenaran. Keempat, gegabah, emosional, tidak santun, dan tidak mampu mengendalikan amarahnya. Imam An-Nawawi mengartikan al-jahl di sini sebagai ucapan dan tindakan yang tidak bijaksana dan tidak benar. (Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Al-Mufradat fii Gharibil Qur’an, dan Syarh Shahih Muslim)

Bila hadits ini kita tarik kepada realita kaum muslimin, maka lagi-lagi kita mengelus dada. Betapa banyak pemuda dan remaja yang asyik memetik gitar dan berdendang ria di gardu-gardu jaga, padahal masjid yang hanya berjarak seratusan meter dari situ tengah melaksanakan shalat tarawih berjama’ah. Berapa banyak anak-anak dan remaja yang menghabiskan berjam-jam waktunya bersama play station? Berapa ribu jumlah petasan yang dibakar oleh anak-anak, remaja, pemuda, dan bahkan orang tua di saat umat Islam yang lain tengah khusyu’ shalat dan tadarus Al-Qur’an? Berapa pula yang begadang menunggu datangnya waktu sahur dengan kartu, papan catur, dan alat-alat musik? Seringkali suara petasan dan musik jahiliyah lebih keras dari lantunan tadarus Al-Qur’an!

Shaum menuntut kita untuk menjauhi semua perilaku buruk dan bodoh tersebut. Buruk karena menyalahi syariat. Bodoh karena jelas tidak membawa manfaat dunia dan akhirat. Tidak ada nilai ketaatan, taqarrub, pahala, dan manfaat di dunia maupun akhirat dalam tindakan-tindakan semacam itu. Shaum menuntut kita memaksimalkan setiap detik dalam bulan suci ini dalam amal ketaatan yang wajib maupun sunah. Jika melakukan hal yang asalnya mubah, maka itu pun harus diniatkan sebagai rehat dan sarana mengembalikan stamina untuk melakukan amal kebajikan berikutnya.

Ketiga, perkelahian, adu mulut, dan caci maki

Orang yang melakukan shaum dituntut untuk tidak melayani percek-cokan, perkelahian, dan caci makian dari orang lain. Sebagian riwayat hadits di atas memakai lafal وَإِنْ اِمْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ “Jika seseorang memerangi atau mencaci maki dirinya”. Dalam lafal lain memakai lafal فَإِنْ سَابَّهُ أَحَد أَوْ قَاتَلَهُ “Jika seseorang mencaci maki atau memeranginya”. Dalam riwayat yang lain juga dipergunakan lafal فَإِنْ سَابَّهُ أَحَد أَوْ مَارَاهُ “Jika seseorang mencaci maki atau mendebatnya.”

Shaum mengharuskan seseorang untuk bersikap sabar, lapang dada, santun, pemaaf, dan tenang. Shaum membiasakan diri pelakunya untuk meredam kemarahan, kejengkelan, kekecewaan, emosi, dendam, iri hati, kebencian, dan permusuhan dari dalam hatinya. Oleh karenanya, ketika ia dicaci maki, diajak adu mulut, atau ditantang berkelahi, maka ia mampu menahan diri. Ia ucapkan perkataan yang mantap إِنِّي صَائِم “Saya tengah mengerjakan shaum”. Ia tidak membalas perilaku kurang ajar yang memancing emosi itu dengan tindakan bodoh. Dengan bijak, ia kendalikan emosinya. Jika orang lain berbuat gila kepada kita, kita tidak perlu ikut-ikutan gila. Itulah yang diajarkan oleh hadits ini.

Menurut penjelasan imam An-Nawawi, ucapan “aku tengah mengerjakan shaum’ memiliki dua pengertian:

  • Ia mengucapkannya dengan keras sehingga orang yang mencaci maki, mengajak cek-cok, dan menantang kelahi tersebut mendengarnya. Biasanya, mereka akan sadar dan tidak melanjutkan niatnya.
  • Ia mengucapkannya dalam hatinya sendiri, agar hatinya selalu waspada dan berhati-hati. Dengan demikian, ia tidak akan bereaksi negatif; balik mencaci maki, cek-cok, dan berkelahi dengan orang yang menyakitinya. Ia tetap berhati-hati agar shaumnya tidak terkotori oleh hal-hal yang mengurangi keutamaan dan pahalanya.

Tentu saja, ujar imam An-Nawawi, jika kedua hal ini dilakukan sekaligus, maka hasilnya akan lebih baik.

Selanjutnya….

Imam Al-Quthubi dan An-Nawawi mengingatkan, meski ar-rafats, al-jahl, al-mukhashamah (cek-cok) dan al-mujaadalah (debat) dilarang pada saat melaksanakan shaum, bukan berarti keempat hal buruk itu boleh dilakukan di luar Ramadhan atau oleh orang yang tidak shaum. Keduanya tetap haram dilakukan oleh orang yang tidak shaum atau di luar Ramadhan. Hanyasaja, keharamannya semakin kuat pada bulan Ramadhan dan pada saat orang tengah melakukan shaum.

Saudaraku seislam dan seiman…

Mari kita jaga shaum Ramadhan kita dari segaa ucapan dan perbuatan yang buruk, keji, dan tidak bermanfaat. Semoga shaum kita bisa diterima dan diberi balasan yang sempurna di sisi Allah SWT. Amien.

Refrensi:

  1. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari
  2. Shahih Muslim bi-Syarh An-Nawawi
  3. Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in
  4. Fathul Qadir

Risalah Ramadhan : Empat virus yang menggugurkan pahala shaum

Bustamar Supu



Arrahmah.com – Secara hukum fiqih, shaum kita dianggap sah apabila kita telah memenuhi syarat dan rukun shaum, serta menjauhi hal-hal yang membatalkannya. Meski demikian, agar shaum bisa mengantarkan kita ke tingkatan takwa yang sesungguhnya, ketentuan fiqih tersebut belumlah cukup. Kita juga wajib menjaga adab-adab dan sunah-sunah Ramadhan. Kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak membawa manfaat di dunia dan akhirat kelak.

Di antara adab-adab yang harus diperhatikan dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan adalah pesan-pesan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits berikut ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ))

Dari Abu Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak memerlukan usaha dirinya dalam meninggalkan makanan dan minumannya (shaum).” (HR. Bukhari no. 1903, Abu Daud no. 2015, Tirmidzi no. 641, Ibnu Majah no. 1689, dan Ahmad no. 9529)

Dalam riwayat Abu Hurairah yang lain dengan lafal:

(( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ))

Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta, perbuatan dusta, dan (ucapan atau perbuatan) kebodohan, niscaya Allah tidak memerlukan usaha dirinya dalam meninggalkan makanan dan minuman (shaum).” (HR. Bukhari no. 6057, Ibnu Majah no. 1689, dan Ahmad no. 8529)

Dalam riwayat Anas bin Malik dengan lafal:

(( مَنْ لَمْ يَدَعْ الْخَنَا وَالْكَذِب ))

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan yang kotor dan kedustaan…” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, para perawinya tsiqah)

Hadits-hadits di atas mewajibkan orang yang shaum untuk menjauhi beberapa perbuatan buruk berikut ini:

Pertama, qaul az-zuur

Para ulama menjelaskan bahwa qaul az-zuur adalah al-kadzib, yaitu kebohongan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Ath-Thabarani dari Anas bin Malik di atas. Kebohongan atau kedustaan adalah mengatakan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya. Asal makna kata az-zuur sendiri adalah melenceng dari kebenaran. Perkataan dusta atau bohong (al-kadzib) disebut az-zuur karena menyimpang dari kebenaran dan realita. (Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, entri zuur)

Orang yang melakukan shaum dituntut untuk senantiasa waspada, berhati-hati, dan menjaga lisannya. Ia tidak boleh sembarangan mengobral ucapan. Ucapan yang tidak membawa manfaat di dunia dan akhirat wajib ditinggalkannya. Apalagi membicarakan hal-hal yang dilarang agama, sudah tentu hukumnya haram. Jangankan menggunjing (ghibah), mengadu domba (an-namimah), atau memfitnah; sekedar bercanda alias melawak pun dilarang apabila mengandung unsur kebohongan. Perkataan orang yang shaum harus senantiasa jujur, benar, dan sesuai realita.

Sekalipun hanya beberapa patah kata, berbohong bisa berakibat fatal; shaumnya tidak mendapat pahala sama sekali! Kok begitu?

Barangkali selama ini kita tidak menganggap besar perkara kebohongan ini. Jika kita mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, niscaya kita akan mampu memahami betapa besarnya dosa kebohongan. Allah SWT menyetarakan besarnya dosa menyembah berhala (syirik) dengan dosa kebohongan dalam firman-Nya,

Maka jauhilah oleh kalian (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta!” (QS. Al-Hajj (22): 30)

Rasulullah SAW juga memasukkan kebohongan dalam tiga tangga teratas dosa besar, bersama dengan dosa syirik dan durhaka kepada kedua orang tua. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

عن أَبي بكرة نُفَيع بن الحارثَ رضي الله عنه قالَ : قَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم : (( ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ )) – ثلاثاً – قُلْنَا : بَلَى ، يَا رَسُول الله ، قَالَ :
(( الإشْرَاكُ بالله ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ )) ، وكان مُتَّكِئاً فَجَلَسَ ، فَقَالَ : (( ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ )) فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا : لَيْتَهُ سَكَتَ .

Dari Abu Bakrah Nufai’ bin Harits RA berkata Rasulullah SAW bertanya sebanyak tiga kali, “Maukah apabila aku beritahukan kepada kalian dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau SAW bersabda, “Yaitu menyekutukan Allah dengan selain-Nya (syirik) dan durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau SAW sedang bersandar, maka beliau lantas duduk dan meneruskan sabdanya, “Juga perkataan dusta dan kesaksian dusta.” Beliau terus-menerus mengulang sabdanya (yang terakhir) sampai-sampai kami berkomentar, “Alangkah baiknya apabila beliau diam.” (HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)

Kedua, al-‘amal biz-zuur

Al-‘amal biz-zuur adalah melakukan tindakan dusta, yaitu melakukan perbuatan yang didasarkan atas manipulasi dan kebohongan. Misal, seorang anak berpamitan kepada orang tuanya untuk berangkat ke sekolah, namun ia justru jalan-jalan cuci mata di supermarket. Dengan alasan rapat guru, seorang guru tidak mengajar di dalam kelas dan justru ngrumpi atau membaca koran di kantor. Dengan alasan kelancaran kerja, pejabat menggunakan uang negara untuk memperoleh mobil dinas yang baru, padahal sebenarnya ia ingin menikmati kemewahan secara gratis. Contoh perbuatan dusta di tengah kehidupan masyarakat kita sangatlah banyak. Walau seringkali dianggap biasa dan lumrah, tetap saja perbuatan dusta adalah dosa besar yang bisa mengakibatkan gugurnya pahala shaum.

Ketiga, al-jahl

Keempat, al-‘amal bil jahl

Dalam riwayat Al-Bukhari (no. 6057), teks hadits menyebutkan; qaulaaz zuur, al-‘amal bihi, dan al-jahl (perkataan dusta, tindakan dusta, dan kebodohan). Adapun riwayat Ibnu Majah (no. 1689), teks hadits menyebutkan: qaulaz zuur, al-jahl, dan al-‘amal bih (perkataan dusta, ucapan bodoh, dan tindakan bodoh). Apabila kedua riwayat ini dipadukan, maka bisa disimpulkan bahwa Nabi SAW melarang empat hal dalam hadits tersebut, yaitu perkataan dusta, tindakan dusta, ucapan yang bodoh dan tindakan yang bodoh. Khusus tentang ucapan yang bodoh dan tindakan yang bodoh, kita telah membahasnya dalam makalah Ramadhan #4, silahkan membacanya kembali. Untuk meringkas, di sini tidak akan kita tulis ulang.

Ada satu hal penting yang diingatkan oleh para ulama berkenaan dengan tindakan yang bodoh. Dalam Kifayatul Hajah fi Syarh Sunan Ibni Majah (2/170), imam Muhammad bin Hayat As-Sindi menulis: “Seluruh perbuatan maksiat merupakan tindakan yang bodoh.”

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menulis, ”Kebodohan itu ada dua jenis; (1) tidak mengetahui ilmu yang bermanfaat dan (2) tidak mengamalkan konskuensi ilmu yang bermanfaat. Keduanya disebut kebodohan menurut pengertian bahasa, budaya, syariat, dan realita. Sebagaimana disebutkan oleh firman Allah SWT,

Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-Baqarah (2): 67)

Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku (untuk berzina). Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33)

Tidak mengamalkan ilmu tentang kebenaran disebut kebodohan, karena ia tidak mengambil manfaat dari ilmunya sehingga posisinya disetarakan dengan orang yang bodoh. Atau karena ia tidak mengerti akibat negatif dari perbuatan buruknya kelak.” (Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1/469-470)

Imam Syihabuddin Mahmud Al-Alusi menulis, “Para shahabat Nabi SAW menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan yang buruk, maka sejatinya ia adalah orang yang bodoh, meskipun ia mengetahui perbuatannya tersebut bertolak belakang dengan kebenaran.” (DR. Ali Al-Jundi, Fi Tarikh Al-Adab Al-Jahili, hlm. 8).

Dari penjelasan para ulama di atas bisa disimpulkan…

Sesungguhnya semua bentuk maksiat wajib kita jauhi selama melaksanakan shaum, yang besar maupun kecil, yang terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, karena ia merupakan tindakan yang bodoh. Semuanya demi kesempurnaan pahala dan manfaat shaum kita.

Akibat Tidak Mengindahkan Petuah Nabi SAW

Bagaimana jika kita melakukan shaum, namun kita tidak menjauhi perbuatan-perbuatan buruk di atas? Rasulullah SAW telah menerangkan akibat buruknya dengan sabda beliau:

فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Niscaya Allah tidak memerlukan usaha dirinya dalam meninggalkan makanan dan minumannya (shaum).” (HR. Bukhari no. 1903, Abu Daud no. 2015, Tirmidzi no. 641, Ibnu Majah no. 1689, dan Ahmad no. 9529)

Apa maksud dari sabda Nabi SAW di atas?

Mari kita simak penjelaskan para ulama berikut ini:

Imam Ibnu Bathal Al-Maliki mengatakan, “Maksudnya bukanlah ia diperintahkan untuk tidak melakukan shaum. Namun maksudnya adalah peringatan agar ia meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk lainnya yang disebutkan dalam hadits ini.”

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i berkata, “Adapun sabda beliau SAW “Allah tidak membutuhkan…” tidak boleh dipahami kebalikannya (jika ia meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk tersebut saat shaum, maka Allah membutuhkan shaumnya—edt). Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Namun makna hadits tersebut adalah Allah tidak menginginkan shaum orang tersebut. Jadi, Nabi SAW menyebutkan ‘kebutuhan’ dalam kedudukan ‘keinginan’. Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr Al-Maliki juga telah menjelaskan pengertian seperti ini.

Imam Ibnu Munayyir mengatakan: “Sabda Nabi SAW “Allah tidak membutuhkan…” merupakan bahasa kiasan bahwa Allah SWT tidak menerima shaumnya. Sebagaimana halnya orang yang meminta orang lain untuk melakukan sesuatu namun orang yang diminta tersebut tidak mau mengerjakannya, maka orang yang meminta tersebut marah dan berkata; “Kalau begitu, aku tidak butuh pekerjaanmu!” Jadi, maksud hadits ini adalah tertolaknya shaum yang dicampuri oleh perkataan dusta dan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Dalil yang semakna dengan hal ini adalah firman Allah SWT,

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj (22):37)

Maksud ayat ini adalah sembelihan kalian tidak akan mendapatkan ridha Allah yang menjadi sebab bagi diterimanya amal kalian.

Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi Al-Maliki mengatakan: “Konskuensi dari hadits ini, shaum orang yang melakukan larangan-larangan tersebut tidak akan diberi pahala. Maksudnya, pahala shaumnya terlalu kecil bila dibandingkan dengan besarnya dosa dari perkataan dusta dan perbuatan-perbuatan buruk tersebut.

Imam Al-Baidhawi Asy-Syafi’i mengatakan: “Tujuan disyariatkannya shaum bukanlah lapar dan dahaga itu sendiri, melainkan dampaknya yaitu meredam nafsu syahwat dan menundukkan nafsu ammarah bis-su’ (jiwa yang selalu mengajak kepada kejahatan) kepada nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang dalam ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW). Jika tujuan ini tidak tercapai, niscaya Allah tidak akan menerima shaumnya. Jadi sabda Nabi SAW “Allah tidak membutuhkan…” merupakan bahasa kiasan bahwa Allah SWT tidak menerima shaumnya. Beliau SAW meniadakan sebab (Allah SAW tidak butuh..edt) namun maksudnya adalah peniadaan akibat (Allah tidak menerima..edt).” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 4/140).

Jika Allah SWT tidak menerima shaum kita…

Jika Allah SWT tidak memberi pahala sedikit pun atas shaum kita…

Jika tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan amal-amal shalih kita yang lain juga tidak diterima-Nya…tidak diridhai-Nya…tidak diberi pahala oleh-Nya…

Karena kita masih saja berkata dusta…berbuat dusta…mengucapkan ucapan yang sia-sia…melakukan perbuatan yang sia-sia…melakukan hal-hal yang diharamkan…

Maka sungguh kita adalah orang yang sangat merugi…

Maka sungguh kita adalah orang yang capek bekerja tanpa mendapat apa-apa…

Kita, dengan demikian, termasuk golongan yang difirmankan Allah SWT…

Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyah (88): 2-4)

Kita, dengan demikian, termasuk golongan yang disabdakan oleh Nabi SAW …

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ ))

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang melakukan shaum namun hanya mendapatkan rasa lapar dan haus belaka. Betapa banyak orang yang melakukan qiyam (tarawih dan witir) namun hanya mendapatkan begadang (capek dan kantuk) belaka.” (HR. Ahmad no. 8639, Ibnu Majah no. 1690, Ad-Darimi no. 2604, Abu Ya’la no. 6551. Al-Hafizh Al-Bushiri dalam Zawaid Ibnu Majah menyatakan sanadnya lemah, sedangkan Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 3488)

Menjelaskan hadits ini, imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i mengatakan, “Ada ulama yang menyatakan maksudnya adalah orang yang berbuka puasa dengan makanan yang haram, atau orang yang berbuka puasa dengan menyantap daging manusia lewat ucapan ghibah (menggunjing), atau orang yang tidak menjaga anggota badannya dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Ya Allah SWT…bimbinglah kami dan berilah kekuatan kepada kami agar kami mampu menjaga shaum kami dari segala perbuatan dosa dan maksiat…

Ya Allah SWT…terima dan ridhailah shaum kami, qiyam kami, tilawah kami, dan seluruh amal kebajikan kami di bulan Ramadhan ini…

Allahumma Amien.


Risalah Ramadhan : Humor pelecehan dalam peringatan malam Nuzulul Qur’an

Saif Al Battar

Selasa, 16 Agustus 2011 10:46:10

Hits: 1049

Arrahmah.com – Selera humor penduduk negeri ini boleh dikata cukup tinggi. Dalam suasana santai maupun serius, senang maupun susah, lapang maupun sempit, canda yang diiringi ketawa-ketiwi tak pernah terlupakan. Tak heran apabila acara lawak di TV selalu laris manis. Semua masalah bisa diskenariokan sebagai bahan guyonan. Jangankan perkara remeh, carut-marut kondisi politik dan ekonomi saja sudah biasa jadi bahan lawakan.

Humor dalam kadar yang wajar memang baik untuk mengobati tekanan stress. Namun humor yang over dosis dan dalam suasana yang tidak tepat justru merupakan bentuk pelecehan dan ketidak seriusan. Salah satu humor yang keterlaluan adalah humor dalam ritual ibadah. Dalam artikel ini, kita tidak hendak membahas acara lawak yang senantiasa menghiasi acara TV sebelum buka puasa atau makan sahur. Kita hendak menyoroti humor Ramadhan yang lebih keterlaluan dari itu. Itulah peringatan malam Nuzulul Qur’an.

Sejak lama, tradisi di negeri ini mengenal perayaan malam nuzulul Qur’an yang dilaksanakan pada malam ke-17 bulan Ramadhan. Di mana letak humornya? Setidaknya pada dua hal. Pertama, pihak yang merayakannya. Kedua, waktu perayaannya. Untuk sementara, kita tidak akan membahas bid’ah-sunnahnya perayaan tersebut.

Anti Hukum Al-Qur’an Merayakan Malam Nuzulul Qur’an?

Jika kita perhatikan orang yang merayakan malam nuzulul Qur’an, niscaya kita akan menemukan humor yang sangat keterlaluan. Ironi, orang-orang yang sangat anti hukum Al-Qur’an tampil sebagai sosok terdepan dalam merayakan malam nuzul Qur’an.

Bayangkan, jika penguasa sekuler yang menolak Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi merayakan malam nuzulul Qur’an, bukankah itu namanya pelecehan 100 % terhadap Al-Qur’an?

Apabila penguasa sekuler yang menolak penerapan Al-Qur’an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berlagak sok memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, bukankah itu namanya penghinaan terhadap Al-Qur’an?

Jika penguasa sekuler menuduh tathbiq syari’atil Qur’an dalam ruang publik sebagai radikalisme, terorisme, fundamentalisme, dan anti demokrasi; lalu ia memberi khutbah peringatan malam nuzulul Qur’an, bukankah ini namanya penipuan dan pembodohan?

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang mutlak kebenaran dan kemaslahatannya. Ia mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Ia adalah pedoman hidup kaum muslimin dalam bidang akidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak. Ia adalah undang-undang tertinggi di bidang ideology, ekonomi,politik, social, budaya, dan keamanan. Ia petunjuk jalan menuju ridha Allah. Ia pembeda antara al-haq dan al-batil. Ia rahmat Allah kepada seluruh hamba-Nya.

Namun penguasa sekuler tidak meyakini kebenaran fakta ini. Mereka lebih percaya kepada sistem demokrasi Barat, kapitalisme Barat, pluralisme Barat. Pedoman hidup penguasa sekuler adalah warisan nenek moyang yang musyrik dan penjajah zionis-salibis Barat. Lahir dan bati mereka adalah sekulerisme Barat. Bagi mereka, Al-Qur’an boleh diyakini sebagai kitab suci dari Allah…boleh dibaca…boleh dilombakan dalam MTQ. Tetapi tidak untuk dipahami secara murni…tidak untuk diamalkan sebaai pedoman hidup dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi mereka, hukum-hukum Al-Qur’an itu kuno, ketinggalan zaman, primitif, diskriminatif, kejam, tidak manusiawi, ekslusif, tidak relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi, tidak selaras dengan demokrasi, pluralism, liberalism, dan globalisasi.

Jika orang-orang semacam mereka ikut merayakan malam nuzulul Qur’an…bahkan berpetuah tentang pentingnya memahami dan mengamalkan Al-Qur’an…bukankah itu artinya pelecehan, olok-olokan, dan lawakan yang keterlaluan?

Benarkah 17 Ramadhan Malam Nuzulul Qur’an?

Sebagian besar penduduk muslim di negeri ini merayakan malam nuzulul Qur’an pada malam 17 Ramadhan. Belum pernah kita mendengar berita sebagian kaum muslimin negeri ini merayakannya pada malam Ramadhan lainnya. Ini sebuah lelucon tersendiri. Sudah tepatkah pendapat yang menetapkan malam 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an? Ataukah sebenarnya hal itu adalah kekeliruan yang telah diterima bersama? Dengan kata lain, bersepakat dalam kesalahan?

Sebagian pihak menyatakan Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada yaumul Furqan, yaitu hari terjadinya pertempuran antara pasukan Islam dan pasukan kafir. Malam tersebut adalah malam Jum’at, 17 Ramadhan tahun 2 H. Mereka berargumen dengan firman Allah SWT,

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu. (QS. Al-Anfal (8): 41)

Argumentasi perayaan 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an dengan ayat di atas tentu saja lemah sekali. Sebab, perang Badar baru terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 H. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada malam perang Badar bukanlah ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun. Sudah jelas berdasar dalil syar’i dan fakta sejarah, bahwa sebelum peristiwa itu telah turun ayat Al-Qur’an selama 13 tahun di Makkah dan 17 bulan di Madinah (Rabi’ul Awwal 1 H-Sya’ban 2 H). Jadi, merayakan malam nuzulul Qur’an pada malam 17 Ramadhan adalah sebuah lawakan yang tidak lucu.

Lantas, kapan sebenarnya ayat Al-Qur’an pertama kali turun? Untuk menjawabnya, kita harus mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW berikut ini. Allah SWT menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, dalam firman-Nya:

(( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ))

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah (2): 185

Bulan Ramadhan terdiri dari 29 atau 30 hari. Pada tanggal berapa tepatnya dalam bulan Ramadhan; tanggal 17 atau tanggal lainnya? Allah SWT sendiri yang menjawab pertanyaan ini dengan firman-Nya,

(( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ )) .

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr (97): 1-5)

((حم ، وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ ، إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ))

Haa Miim. Demi Kitab (Al-Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan (44): 1-3)

Dua ayat Al-Qur’an yang mulia di atas menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada lailatul qadri (malam yang agung), yaitu lailah mubarakah (malam yang dibekahi). Itulah malam yang nilai ibadah pada saat itu lebih utama dari ibadah selama 1000 bulan.

Dari sini, obyek pencarian kita semakin jelas. Malam nuzulul Qur’an adalah malam (lailatul) qadar. Tentang lailatul qadar,Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mencarinya pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Dan pada malam-malam ganjil dalam sepuluh malam terakhir tersebut, harapan untuk mendapatkan lailatul qadar lebih kuat.

Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

تَََحََرَّوْا لَََيْلَةَََ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2021 dan Muslim no. 1169)

Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lain-lain.

Dari Abu Said Al-Khudri RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

إِنِّي أُرِيتُ لَََيْلَةَََ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِِ

Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, namun aku dilupakan atau terlupakan darinya. Maka bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam yang ganjil darinya.” (HR. Bukhari no. 2016, 2018 dan Muslim no. 1167)

Maka, malam nuzulul Qur’an boleh jadi adalah malam 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29 atau 30 Ramadhan. Sampai di sini, kita masih meraba-raba, belum bisa memastikan. Namun sejak 14 abad yang lalu, Nabi SAW telah menjelaskannya secara tuntas kepada kita sehingga kita tidak perlu meraba-raba dan menduga-duga belaka. Beliau SAW adalah orang yang menerima wahyu pertama di gua Hira’ pada bulan Ramadhan tahun pertama kenabian. Tentu saja beliau sangat ingat malam bersejarah bagi dunia tersebut. Lalu, kenapa kita tidak bertanya langsung kepada beliau, peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada malam keberapakah dalam bulan Ramadhan?

Jika kita bertanya demikian, maka dengarkanlah jawaban Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu. Kepada kita, umatnya yang gemar merayakan malam nuzulul Qur’an ini, beliau menjawab,

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

Dari Watsilah bin Al-Asqa’ RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada malam keenam Ramadhan, Injil diturunkan pada malam ketiga belas Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadhan.” (HR. Ahmad no. 16370, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Hadits yang semakna diriwayatkan oleh imam Abu Ya’la dan Ibnu Marduwaih dari sahabat Jabir bin Abdullah RA.

Nah, sabda Nabi SAW ini telah memberikan jawaban tuntas tentang teka-teki malam nuzulul Qur’an. Jadi, malam nuzulul Qur’an adalah malam ke-24 Ramadhan tahun pertama kenabian. Pada malam lailatul qadar, yaitu malam 24 Ramadhan tahun pertama kenabian tersebut, Al-Qur’an diturunkan sekaligus secara lengkap (30 juz, 114 surat, 6236 ayat) dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia. Kemudian setelah itu malaikat Jibril atas perintah Allah menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW secara bertahap sedikit demi sedikit selama 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah), sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Isra’ (17): 106 dan Al-Furqan (25): 32-33.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Hadits ini berkesesuaian dengan firman Allah “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran“ dan firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan”. Maka ada kemungkinan malam lailatul qadar pada tahun tersebut berada pada malam tersebut. Pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia, kemudian pada malam kedua puluh empat Ramadhan diturunkan wahyu yang pertama, yaitu firman Allah “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan…” (QS. Al-‘Alaq (96):1-5)

Demikianlah yang juga dipahami oleh sahabat Ibnu Abbas dan diikuti oleh mayoritas ulama. Ibnu Abbas, sebagaimana kita ketahui, telah mendapat doa istimewa Rasulullah SAW agar menjadi ahli tafsir Al-Qur’an. Kepakarannya dalam tafsir Al-Qur’an telah diakui seluruh ulama sahabat, sehingga ia digelari Tarjumanul Qur’an, sang penerjemah (makna) Al-Qur’an. Berikut ini beberapa riwayat Ibnu Abbas tentang kesimpulan di atas,

  1. Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada malam 24 Ramadhan, lalu diletakkan di Baitul Izzah pada langit dunia. Kemudian malaikat Jibril menurunkannya kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur.” (HR. Muhammad bin Nashr, Ibnu Marduwaih, Ath-Thabarani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Adh-dhiya’ Al-Maqdisi. Al-Hakim dan Adh-Dhiya’ menshahihkannya).
  2. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada lailatul qadar pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam yang diberkahi. Setelah itu diturunkan secara bertahap (dari langit dunia kepada Rasulullah SAW—edt) dalam beragam tahun dan bulan.” (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Muhammad bin Nashr, Ath-Thabarani, dan al-Baihaqi)
  3. Ibnu Abbas berkata, “Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar, lalu setelah itu diturunkan (secara bertahap) dalam waktu 20-an tahun.” Ibnu Abbas lalu membaca dalilnya, yaitu firman Allah, “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’ (17): 106) (HR. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, An-Nasai, dan Al-Hakim. Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Sanadnya shahih)

Kesimpulan

Al-Qur’an diturunkan dalam dua proses:

  1. Al-Qur’an diturunkan sekaligus secara lengkap (30 juz, 114 surat, 6236 ayat) dari lauh mahfuzh ke baitul Izzah di langit dunia. Sebagaimana dijelaskan oleh QS. Al-Baqarah (2): 185, Ad-Dukhan (44): 1-4, dan Al-Qadr (97): 1-5. Hal itu terjadi pada malam lailatul qadar, yaitu malam 24 Ramadhan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits.
  2. Al-Qur’an diturunkan dari baitul Izzah di langit dunia kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur dalam waktu 23 tahun, dalam beragam bulan dan hari. Sebagaimana dijelaskan oleh QS. Al-Isra’ (17): 106 dan Al-Furqan (25): 32-33. Wahyu pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) turun kepada beliau pada bulan Ramadhan tahun pertama kenabian di gua Hira’.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Senin, 30 Mei 2011

Mengapa Harus Kartini ???

kartini1 Mengapa Harus Kartini?


.

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

.

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

.

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut ? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus menda -pat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong tak dir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

Kamis, 19 Mei 2011

Doa Untuk Saudara Kita Yang Sedang Allah Uji Dengan Sakit



“Allohumma Robban naasi adzhibil ba’sa asyfi antasy syaafii laa syifaa’a illaa syifaa’uka syifaa’an laa yughoodiru saqoman. Imsahil ba’sa rabban naasi biyadikasy syifaa’u, laa aasyifa lahu illaa Anta, as’alullaahal ‘Azhiima, Robbal ‘ arsyil ‘Azhiimi an-yasfiyaka.”

Artinya:

“Ya Alloh Tuhan segala manusia, jauhkanlah kesukaran/penyakit itu dan sembuhkanlah ia, Engkaulah yang menyembuhkan,tak ada obat selain obat-Mu, obat yang tidak meninggalkan sakit lagi. Hilangkan lah penyakit itu, wahai Tuhan pengurus manusia. Hanya padamulah obat itu. Tak ada yang dapat menghilangkan penyakit selain Engkau, aku mohon kepada Alloh yang Maha Agung, Tuhannya ‘arasy yang agung, semoga Dia menyembuhkan anda.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Senin, 02 Mei 2011

Wanita Ahli Surga dan Ciri-Cirinya


Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13). Wallahu A’lam Bis Shawab

Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya. MUSLIMAH XVII/1418 Kajian Kali Ini,Sumber: Salafy.or.id Offline judul: Wanita Ahli Surga dan Ciri-Cirinya.

Melihat Sifat-Sifat Penghuni SURGA

Sungguh kenikmatan-kenikmatan dalam al jannah tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun.

Demikianlah yang dikhabarkan Baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

Allah berfirman (artinya): ”Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim no. 2824)

Para pembaca yang mulia, pada edisi ke 2 th. ke 5, 1427, telah kami angkat sebuah tema tamasya ke surga, maka edisi kali ini akan melanjutkan tamasya kita untuk menikmati keindahan sifat-sifat penghuni al jannah (surga).

Sungguh kenikmatan-kenikmatan dalam al jannah tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun. Demikianlah yang dikhabarkan Baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

Allah berfirman (artinya): ”Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim no. 2824)

Kenikmatan-kenikmatan itu menggambarkan, rahmat Allah subhanahu wata’ala itu betapa luas tanpa batas, bagaikan hamparan tiada bertepi. Yang Allah subhanahu wata’ala sedialam bagi hamban-hamba-Nya yang shalih. Tapi itu bukan semata-mata hasil amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba, sekalipun ia seorang nabi. Bahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai Imamul Anbiya’ (pemimpin para nabi), ia adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu al jannah, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah subhanahu wata’ala.

فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ

Sungguh bukanlah seseorang itu masuk al jannah karena amalannya. Para shahabat bertanya: “Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau berkata: “Demikian juga saya, melainkan Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari no. 6463 dan Muslim no. 2816)

Ciri Fisik Penghuni Al Jannah

Penghuni al jannah memiliki ciri-ciri khusus. Diantaranya;

Berperawakan seperti Adam. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدَهُ حَتَّى اْلآنَ

Maka setiap orang yang masuk al jannah wajahnya seperti Adam dan tingginya 60 hasta, setelah Adam manusia terus mengecil hingga sampai sekarang.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Berusia masih muda. Dari shahabat Syahr bin Husyab radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلاَثِينَ أَوْ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةً

Penghuni al jannah akan masuk ke dalam al jannah dengan keadaan rambut pendek, jenggot belum tumbuh, mata bercelak, dan berusia tiga puluh tahun atau tiga pulu tiga tahun.” (HR. At Tirmidzi no. 2468, dihasankan Asy Syaikh Al Albani. Keraguan ini berasal dari perawi, namun dalam riwayat Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ath Thabarani dan Al Baihaqi dengan riwayat tegas tanpa ada keraguan yaitu berusia 33 tahun. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/215)

Orang Yang Pertama Mengetuk Pintu Al Jannah

Orang pertama kali yang mengetuk pintu al jannah, lalu membukanya dan kemudian memasukinya adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا أَكْثَرُ اْلأَنْبِيَاءِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ

Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu Al Jannah.” (HR. Muslim no. 196)

Masih dari shahabat Anas bin Malik namun dalam riwayat At Tirmidzi, dengan lafadz:

Saya adalah orang yang pertama kali keluar jika mereka dibangkitkan. Saya adalah orang pertama kali bicara, jika mereka diam. Saya adalah pemimpin mereka, jika mereka dikirim. Saya adalah pemberi syafaat kepada mereka, jika mereka tertahan. Saya adalah pemberi berita gembira, jika mereka putus asa. Panji pujian ada digenggaman tanganku. Kunci-kunci al jannah ada ditanganku. Saya adalah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Rabb-ku dan tidak ada kebanggaan melebihi hal ini. Saya dikelilingi seribu pelayan setia laksana mutiara yang tersimpan.”

Umat Yang Pertama Kali Masuk Al Jannah Dan Ciri-Cirinya

Sekalipun umat Islam ini adalah umat terakhir, namun Allah subhanahu wata’ala (dengan rahmat-Nya yang luas) memilihnya sebagai umat yang pertama kali masuk al jannah. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نَحْنُ اْلآخِرُونَ اْلأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ

Kita adalah umat terakhir namun paling awal pada hari kiamat. Kita adalah umat yang pertama kali masuk al jannah, meskipun mereka diberi kitab sebelum kita, dan kita diberi kitab sesudah mereka.” (HR. Muslim no. 855)

Selain itu, Allah subhanahu wata’ala pun menampilkan umat Islam dengan penampilan yang amat indah. Masih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ إِضَاءَةً

Rombongan pertama yang masuk Al Jannah laksana bulan purnama, sedangkan rombongan berikutnya bagaikan bintang yang paling berkilau di langit.” (HR. Al Bukhari no. 3327, Muslim no. 2824)

Orang Fakir Miskin Lebih Dahulu Masuk Al Jannah

Lalu siapakah diantara umat Islam yang pertama kali masuk al jannah? Hal yang sama pernah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tanyakan kepada para shahabatnya. Seraya mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Barulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: “Mereka adalah kaum faqir Muhajirin yang terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Salah seorang dari mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya namun ia tidak mampu menunaikannya. Para Malaikat berkata: ” Ya Rabb-kami, kami adalah para malaikat-Mu, penjaga-Mu, dan penghuni langit-Mu, janganlah Engkau dahulukan mereka daripada kami memasuki jannah-Mu! Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Mereka terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Ada salah seorang diantara mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya yang tidak mampu ia tunaikan. Mendengar jawaban Allah seperti itu, para malaikat segera masuk ketempat mereka dari semua pintu seraya berkata,” Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Ini adalah sebaik-baik tempat tinggal.” (HR. Ahmad dan At Thabarabi, dari shahabat Abdullah bin Umar)

Sementara dalam riwayat Al Imam Muslim dan At Tirmidzi menjelaskan selisih waktu antara rombongan orang-orang fakir dengan orang-orang kaya masuk ke dalam al jannah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ يَسْبِقُونَ اْلأَغْنِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى الْجَنَّةِ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا

Orang orang fakir kaum Muhajirin masuk Al Jannah mendahului orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 40 tahun.” (HR. Muslim no. 2979)

Istri-istri Penghuni Al Jannah, Pesona, Ciri-Ciri Dan Kecantikannya

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya“. (Al Baqarah: 25)

Pada ayat di atas Allah subhanahu wata’ala memadukan antara kenikmatan fisik berupa al jannah beserta taman-taman dan sungai-sungai di dalamnya, dengan kebahagian jiwa berupa bidadari-bidadari sebagai istri-istri yang suci lagi penyejuk mata bagi mereka. Dan Allah subhanahu wata’ala memastikan bagi mereka keberlangsungan kehidupan yang abadi tiada pernah terputus sedikitpun.

Mereka dipingit di kemah-kemah dalam keadaan putih bersih nan jelita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah.” (Ar Rahman: 72)

Mereka memiliki akhlak yang bagus nan indah sebagaimana kecantikan pesona wajah-wajah mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang (berakhlak) baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar Rahman: 70)

Mereka berusia sebaya, selalu tampil dalam keadaan perawan, penuh pesona dan cinta. Allah subhanahu wata’ala berifirman (artinya): “Dan Kami jadikan bidadari-bidadari itu perawan. Penuh cinta kasih lagi sebaya umurnya. Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan.” (Al Waqi’ah: 36-38)

Penghuni Yang Masuk Al Jannah Paling Akhir

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya aku tahu penghuni neraka yang paling akhir keluar dari neraka dan penghuni al jannah yang paling akhir masuk al jannah. Dia keluar dari neraka dengan merangkak. Allah berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah (surga) dan masuklah ke dalamnya!’ Orang tersebut bergegas pergi ke jannah dan tergambar dalam pikirannya bahwa al jannah itu telah penuh sesak. Maka ia pun kembali dan berkata kepada Allah, ‘Wahai Rabbku, aku dapati al jannah telah penuh!’ Allah pun berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah dan masuklah ke dalamnya! Sesungguhnya engkau berhak atas nikmat sebesar dunia dan sepuluh kali lipatnya.’ Orang tersebut berkata, ‘Wahai Rabbku, apakah Engkau mengejekku dan menertawakanku, karena Engkau Sang Raja Penguasa?”

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Kulihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” Beliau bersabda: “Itulah derajat penghuni al jannah yang paling rendah.” (HR. Al Bukhari no. 6571 dan Muslim no. 186)

Penghuni Al Jannah Melihat Rabb Mereka Dengan Mata Kepalanya

Kenikmatan tertinggi di dalam al jannah adalah melihat wajah Rabbul ‘alamin. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaikb berupa surga dan ada tambahannya. Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dengan kehinaan. Mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (Yunus: 25-26)

Yang dimaksud dengan ada tambahannya pada ayat di atas yaitu berupa kenikmatan melihat Allah subhanahu wata’ala. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya: “Jika telah masuk penduduk al jannah ke dalam al jannah. Allah subhanahu wata’ala berkata: “Apakah kalian ingin tambahan dari-Ku. Mereka seraya menjawab: “Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam al jannah (surga) dan menyelamatkan dari an nar (neraka). Kemudian Allah subhanahu wata’ala membuka hijab-Nya. Maka tidaklah mereka diberi nikmat yang lebih mereka sukai dibanding dengan melihat Allah subhanahu wata’ala. (HR. Muslim no. 181)

Akhir kata, demikianlah tamasya kita untuk menengok sebagian keindahan para penghuni al jannah. Dengan sebuah harapan dapat mendorong kita untuk selalu berpacu dalam beramal shalih. Tuk meraih tamasya yang hakiki yang penuh dengan kenikmatan yang abadi. Amien, Ya Rabbal ‘alamin.

Do’a Mohon Dimasukkan Al Jannah dan Dijauhkan dari An Naar

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a:

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ, وَأَعُوذُبِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al jannah (surga) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari an nar (neraka) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan“. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.1542)

Dikutip dari http://assalafy.org Penulis: Buletin Al Ilmu Jember, Judul: Sifat-Sifat Penghuni Al Jannah