Jumat, 31 Juli 2009

.:Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?:.

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian
besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana
termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan
perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada
dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai
saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

..................................................................

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk
miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5
persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan
pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya
mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan
reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi
pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan
penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun
2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk
yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga
prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau
lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini
mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama
ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-
program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada
upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara
lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit
menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan
tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah
ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin.
Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan
ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi
dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung
digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan
sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya
pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan
kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada
tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya
berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk
program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro
hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data
mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan
nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada
keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data
dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat
keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar
yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi
ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang
berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak
realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan
pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah
kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten
Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang
miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara
BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada
tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga
prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang
sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah
dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk
target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi
bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya
(walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan
serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro
tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak
yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak
dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau
keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan
data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal,
bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha
mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap,
antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan
data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa
Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih
terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab
kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak
dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili
keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan
informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut,
terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat
dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan
diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek
yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat
diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian
tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun
di tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini
adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah
atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai
indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat
menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya
indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam
berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk
penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap
fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga,
unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan
kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau
pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan
serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh
karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti
perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya,
khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut
tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin
ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Belum memadai

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya
memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di
daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat
tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut
tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di
tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data
kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional,
perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah.
Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu
diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga
keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten
dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk
kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari
pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan
adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan,
pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam
pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan
sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan
dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi
statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang
diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain
itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau
internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke
masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan
keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna
atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya
kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi
untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan
keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar
dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan
informasi untuk kebijakan program.

Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik
pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi,
dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya
secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program
pembangunan yang sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang
menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu
pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan
sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim
teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait,
pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar
secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang
spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan
sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis,
dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya
dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas
dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan,
dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola
pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas
pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik,
Badan Pusat Statistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukkan komentar anda